YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Perjanjian dagang internasional Trade Related Intellectual Property Rights atau Trips tidak menjamin perlindungan hukum terhadap pengetahuan maupun teknologi tradisional. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu segera melakukan perlindungan untuk menghindari pencurian terhadap kekayaan budaya bangsa itu.
"Salah satunya adalah dengan meningkatkan dana dan penelitian untuk proses pengajuan paten atas pengetahuan maupun teknologi tradisional. Metode memperbanyak paten ini telah dilakukan oleh Thailand dan Singapura. Sejak Trips disepakati, kedua negara itu sangat giat meneliti untuk pengajuan paten," tutur Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) M Hawin dalam Seminar Trips Agreement: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan yang diselenggarakan Pusat Studi Perdagangan Dunia dan Laboratorium Studi Globalisasi UGM, Jumat (11/9).
Menurut Hawin, dari sisi kualitas maupun kuantitas, Indonesia masih jauh tertinggal dari kedua negara tetangga itu. Singapura, misalnya, saat ini telah mempunyai setidaknya 2.500 paten, sementara Indonesia baru mempunyai 200 paten. Secara kualitas, teknologi yang dipatenkan di Indonesia pun masih dalam taraf yang sederhana.
Pengajuan paten ini, kata Hawin, sangat penting di tengah lemahnya perlindungan hukum dagang internasional terhadap pengetahuan tradisional. Tanpa perlindungan pengetahuan tradisional Indonesia terancam dipatenkan dan diperdagangkan di negara asing. Masyarakat pemilik pengetahuan bahkan bisa dituntut bila menjual barang atau jasa di negara tempat pengetahuan itu dipatenkan.
"Orang Bali, misalnya, bisa dituntut bila memperdagangkan patung khas buatannya di Amerika, kalau ternyata teknik pembuatan patung itu sudah dipatenkan di sana," ujarnya memberi gambaran.
Lemahnya perlindungan tercermin dalam satu pasal Trips Agreement yang berlaku mulai tahun 2000. Di pasal itu hanya disebutkan pematenan atas pengetahuan tradisional bisa dikecualikan, namun tidak diwajibkan. Tidak tegasnya pasal ini memberi celah pencurian pengetahuan tradisional negara berkembang oleh negara maju.
Pencurian ini, kata Hawin, telah terjadi berulangkali. Hanya sebagian kecil negara berkembang saja yang mampu menggagalkannya, salah satunya India.
Dari bidang pertanian, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Kasumbogo Untung berpendapat, pemerintah Indonesia juga perlu mencontoh India yang telah memberikan perlindungan pada petani dengan menetapkan Farmers Rights. "Selama ini, kita belum pernah berpikir sampai ke sana," tuturnya.
Sementara itu, Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM Poppy S Winanti mengatakan, Trips Agreement sejak semula telah mengundang kontroversi. Perjanjian ini dibuat atas desakan sejumlah perusahaan mul tinasional yang merasa terancam oleh kebangkitan industri di sejumlah negara berkembang.
"Trips bisa dibilang sebuah kemenangan manis perusahaan multinasional dalam membendung kompetisi perdagangan," ujarnya.
KOMPAS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar