Pukulan Lesung Ciptakan Irama, Beras Diyakini Lebih Bergizi
Di zaman yang serba pragmatis dan modern ini ternyata masih ada juga kebiasaan masyarakat lama yang sulit ditinggalkan. Salah satunya adalah kebiasaan menumbuk padi dengan cara dan alat tradisional yakni lesung.
AIRLANGGA, Trawas
SUASANA pedesaan sangat terasa saat melintas di jalan Kecamatan Trawas. Hawa dingin khas daerah pegunungan begitu terasa jika melintas di daerah setinggi 800 meter dari atas permukaan laut ini.
Di salah satu desa yang ada di Kecamatan Trawas, terdapat satu dusun yang masih memegang kebiasaan tradisional, yakni mengolah padi dengan cara menumbuk menggunakan alat tradisional lesung. Dusun tersebut bernama Dusun Penanggungan.
Untuk sampai di dusun ini tidak lah terlalu sulit. Hanya saja, jalanan sebagai akses masuk ke desa ini memang sedikit menanjak dan berliku. Dusun penanggungan sendiri sama dengan dusun-dusun yang ada di sekitarnya. Padat dengan bangunan rumah dan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
Tidak ada yang istimewa saat kali pertama tiba di depan gerbang dusun. Namun beberapa meter dari gerbang, suara pelan seperti alunan musik mulai terdengar. Alunan musik tersebut berasal dari enam perempuan yang memukul alat penumpuk padi ke arah lesung. Pukulan tersebut dimainkan secara bergantian sehingga seolah-olah membentuk irama musik tradisional.
Dari balik sebuah bangunan yang terbuat dari bambu dengan ukuran 5x5 meter, enam perempuan tampak saling bersenda-gurau sambil memukulkan lesung. Tidak ada raut lelah dari wajah mereka. Sesekali tangan mereka mengusap dahi untuk menghilangkan keringat yang mulai menetes di wajah keenam perempuan tersebut.
Lesung itu sendiri terbuat dari batu besar dengan ukuran 120 sentimeter dan kedalaman sepuluh sentimeter. Di bangunan yang juga berfungsi sebagai lumbung padi ini, terdapat juga dua lesung berbentuk bundar dengan ukuran diameter sepuluh sentimeter. Keenam perempuan tadi memukul padi menggunakan kayu sepanjang 150 senti meter.
’’Kalau dilakukan secara bersama-sama, tidak terasa lelah, apalagi sambil mengobrol, tahu-tahu sudah selesai,’’ ujar Siti Kalimah, 42. bersama lima perempuan lainnya, Siti Kalimah memulai pekerjaanya menumbuk beras mulai pukul 00.00 hingga pukul 16.00.
’’Kalau lelah ya isirahat sebentar, biasanya kalau tengah hari, istirahat sebentar sambil makan siang,’’ ujarnya. Perharinya, menurut Siti Kalimah, ia dan kelima rekannya bisa menumbuk beras hingga dua kuintal.
’’Rata-rata per hari saya bisa mendapatkan upah mencapai Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu, lumayan untuk tambah-tambahan,’’ terang Tiamin, warga lainnya. Dari lesung yang terbuat dari batu besar, para wanita tadi mengambil beras yang telah ditumbuk, lalu diayak untuk selanjutnya dibawa ke rumah.
Para wanita desa mengaku lebih senang membuat beras sendiri. Alasannya, beras yang dijual di pasar lebih kasar karena diproses dengan mesin dan ayakannya tidak sempurna. Aktivitas menumbuk beras ini memang sudah lama dilakukan. Disamping itu, proses menumbuk beras juga diyakini lebih memiliki nilai gizi dibandingkan menggunakan mesin.
Pada zaman dulu, juga saat ini di beberapa daerah pedesaan, masyarakat mengonsumsi nasi dari beras yang ditumbuk secara tradisional dengan menggunakan penumbuk padi berupa lesung, dimana cara ini membuat masih banyak bekatul menempel pada beras yang dihasilkan.
Bekatul atau juga disebut rice brand, yang selama ini lebih dikenal sebagai pakan ternak, adalah bagian luar atau kulit ari dari beras yang merupakan hasil sampingan dari proses penggilingan padi, biasa berupa serbuk halus berwarna krem atau coklat muda.
Beras yang kita makan sekarang ini sudah ’’terlalu bersih” padahal di dalamnya justru banyak mengandung vitamin dan nutrisi penting yang memiliki khasiat luar biasa
Seiring dengan perkembangan teknologi, dengan munculnya hueller atau penggilingan, sedikit demi sedikit kebiasaan menumbuk pada ditinggalkan. Mereka menggilingkan padi atau gabahnya ke tempat penggilingan karena proses pembersihan lebih cepat dan murah.
Semenjak mesin penggilingan menggantikan alu dan lesung penumbuk padi, bisa dipastikan tidak ada sama sekali bekatul yang tersisa atau menempel pada beras yang dihasilkan. Sehingga masyarakat pedesaan sama seperti masyarakat di perkotaan dimana mereka mengonsumsi beras yang putih bersih dan bebas dari bekatul.
Slamet, salah satu tokoh masyarakat mengatakan di dalam beras yang dihasilkan melalui proses penumbukan terdapat nutrisi-nutrisi yang tetap terjaga dan hal ini bisa hilang jika dihasilkan melalui proses mesin giling atau huller. Nutris-nutris yang dimaksud adalah aleuron dan thiamin atau B1. ’’Serat, lemak, vitamin dan mineral alami tersebut merupakan asupan yang gizi yang penting bagi tubuh,’’ ujar Slamet.
Kondisi fisik masyarakat pedesaan zaman dahulu dan sekarang tampak jauh berbeda. Ia mencontohkan, jaman dahulu orang desa segar bugar, tahan banting dan jarang terkena penyakit. Kini banyak dari mereka menderita penyakit masyarakat kota, yakni penyakit degeneratif seperti diabetes, melitius, kolesterol, hipertensi, serangan jantung dan banyak lagi. ’’Apakah ini disebabkan karena mereka tidak lagi mengonsumsi bekatul yang seharusnya menempel pada beras sebagai sumber vitamin B15?’’ ujarnya.
Disamping itu, dengan kegiatan menumbuk, maka dapat menumbuhkan lapangan pekerjaan dan memperkuat nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal yang ada. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar